Ciamis-. Bupati Ciamis Herdiat Sunarya meresmikan Kampung Lebak, Kelurahan Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, sebagai Kampung Kerukunan, Kamis (21/4/2022). Di kampung ini terdapat empat rumah ibadah yang saling berdampingan. Keempatnya yaitu Masjid Jami Al Muhajidin, Gereja Katolik Santo Yohanes, Kelenteng Hok Tek Bio, dan Litang Khonghucu.
Duakecambah diletakkan pada dua tempat yang berbeda, yang satu ditempat gelap dan yang lain di tempat terang. Kecambah di tempat gelap akan tumbuh lebih cepat panjang daripada kecambah di tempat terang. Biji akan lebih cepat berkecambah ketika ditempatkan dalam lingkungan yang gelap. Hal ini membuktikan bahwa cahaya berpengaruh terhadap
Kawangkoandi Sulawesi Utara bisa menjadi contoh kedamaian antar umat beragama. Di sini, ada 5 rumah ibadah yang berdiri berdampingan. Sekitar 2 jam dari Manado, ada daerah bernama Kawangkoan. Selain penghasil kacang panggang yang enak, di sini juga ada objek wisata yang menjadi inspirasi kedamaian. Bernama Bukit Kasih, ini adalah contoh
Tetapitahukah kalian bahwa di luar itu semua ternyata kita, di Indonesia masih bisa menikmati indahnya kerukunan yang tercermin dari tempat ibadah. Solo ada dua tempat ibadah yang dibangun secara berdampingan yaitu Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan dan juga Masjid Al-Hikmah. Uniknya, dua bangunan ini letaknya berdempetan alias saling
DiGang Ruhana ada 3 tempat ibadah yang berdekatan, yakni Masjid Al-Amanah yang berdiri sejak 2015, Wihara Girimetta yang sudah ada sejak 1946, dan Gereja Pantekosta yang dibangun pada 1933. Baca Juga: Semak Belukar Jadi Objek Wisata Viral. Apabila ada momen besar seperti natal, warga muslim dan hindu ikut membantu mempersiapkan segala
boHriL. Gereja dan masjid di DiyarbakiFoto DWSuatu saat seorang pejabat pemerintah Tiongkok Republik Rakyat Cina mendengar kabar bahwa ada pengurus majelis sebuah agama di negaranya yang membangun sebuah rumah ibadah yang sangat megah, indah, dan elok. Mungkin lantaran tidak berkenan, sang pejabat tadi menemui pengurus majelis yang kaya-kaya itu dan mengajak mereka keliling jalan-jalan melihat pemukiman penduduk di sekitar rumah ibadah tersebut. Oleh pejabat tadi, mereka diajak blusukan masuk ke dalam kompleks perkampungan melewati gang-gang sempit, lorong-lorong kumuh, dan rumah-rumah penduduk yang kusam dan saling berhimpitan. Tak pelak, bau busuk sampah dan got mampet pun menyengat hidung. Sang pejabat kemudian mengajak pengurus majelis masuk ke sebuah rumah reot nan kumuh. Mereka pun kaget terperangah melihat keadaan rumah itu berlantai tanah, kotor, bau pengap, penerangan ala kadarnya, dan barang-barang berserakan di segala sudut ruangan. Sebuah meja makan kecil dipenuhi piring kotor. Lauk dan sisa-sisa makanan berceceran di samping sebuah keranjang berisi seekor kucing tua yang sedang tiduran. Seorang ibu dan anaknya juga terlihat tidur di atas tikar kumal dengan “ditemani” lalat-lalat yang beterbangan di sekitarnya. Sang pejabat menoleh ke arah pengurus majelis yang masih terperangah dan ternganga seolah tak percaya dengan apa yang mereka lihat di depan mata. Sejurus kemudian sang pejabat pun bertanya kepada mereka “Apakah menurut kalian,Tuhan lebih suka melihat rumah-Nya dibangun dengan super mewah atau rumah hamba-hamba-Nya dibangun dengan agak layak, baik, dan sehat?" Pengurus majelis pun tak bersuara. Diam membisu. Penulis Sumanto al Qurtuby Foto S. al Qurtuby Berjubelnya Tempat-tempat Ibadah Penggalan kisah ini saya dapatkan dari sahabat karibku, Harjanto Halim, seorang pengusaha Tionghoa yang dermawan, filantropis, dan gemar membangun persaudaraan universal dengan berbagai kelompok etnis dan agama. Peristiwa pendirian tempat-tempat ibadah megah di tengah kompleks pemukiman kumuh dan kemelaratan warga bukan hanya terjadi di Cina saja tetapi juga di negara-negara lain di dunia ini, termasuk Indonesia. Di Indonesia kita sering menyaksikan berbagai bangunan tempat ibadah masjid, gereja, kuil, dlsb yang sangat megah dan indah. Berbagai kelompok agama seolah berlomba-lomba membangun tempat ibadah yang megah. Berbagai ormas dan kelompok Islam berlomba-lomba membangun masjid mewah. Berbagai denominasi Kristen berlomba-lomba membangun gereja yang megah. Begitupun umat agama lain. Oleh umat beragama, khususnya kelompok elitenya, berdirinya tempat-tempat ibadah itu dijadikan sebagai ukuran, tanda, atau simbol kesuksesan beragama dan peningkatan iman kepada Tuhan. Para “juru bicara” dan “wakil” Tuhan di dunia ulama, klerik, pastor, pendeta, pandita, atau apapun namanya giat mendakwahkan atau mewartakan dan bahkan memobilisir umat mereka masing-masing untuk beribadah, bersedekah, berderma, dan beramal saleh membangun tempat ibadah yang mereka sebut sebagai “rumah Tuhan”. Pembangunan tempat ibadah tidak cukup satu atau dua tetapi kalau bisa sebanyak mungkin. Saya–mungkin juga Anda–sering menyaksikan sebuah desa atau kompleks perumahan yang memiliki banyak masjid dan musala langgar. Padahal masjid atau musala tersebut sering atau bahkan selalu kosong. Hanya beberapa gelintir saja yang salat. Masjid ramai kalau Jumat saja untuk salat Jumat. Di kompleks tempat tinggalku, di sebuah daerah di Semarang, juga terdapat setidaknya empat masjid besar yang letaknya berdekatan belum lagi ditambah musala. Keempat masjid tersebut dikenal dengan sebutan masjid Muhammadiyah, masjid NU, masjid LDII, dan masjid nasionalis. Di kampung kelahiranku yang kecil-mungil di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, juga terdapat satu masjid besar dan empat musala. Bukan hanya umat Islam saja. Umat agama lain juga sama. Umat Kristen misalnya juga berlomba-lomba membangun gereja. Masing-masing denominasi dan kongregasi bersemangat mendirikan gereja, bila perlu yang megah, untuk kelompok Kristen mereka masing-masing. Mereka tidak mau kalah dengan kelompok Kristen dari gereja-gereja lain. Pembangunan “Rumah Tuhan” itu Tidak Penting? Pembangunan atau pendirian rumah ibadah oleh pemeluk agama sebagai tempat melakukan aktivitas ritual-keagamaan tentu saja hal yang sangat wajar. Dari masyarakat suku yang tinggal di daerah pelosok terpencil hingga masyarakat modern di kota-kota metropolitan memiliki tempat-tempat ibadah, bagi yang beragama tentunya. Manusia bukan hanya “makhluk ekonomi” economic man atau “makhluk politik” political man tetapi juga “makhluk spiritual” spiritual man. Pembangunan tempat-tempat ibadah itu dianggap sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan religi-spiritual umat manusia itu. Tetapi, jika umat beragama terus-menerus membangun tempat ibadah secara berlebihan tentu saja tidak wajar dan tidak bisa dibenarkan. Apalagi membangun tempat-tempat ibadah yang megah atau bahkan supermegah yang indah di tengah kemiskinan warga dan sesaknya ekonomi umat tentu saja sangat dan lebih tidak wajar dan tidak dibenarkan lagi, dan oleh karena itu pandangan dan pemikiran seperti ini perlu dikaji ulang, dipikir lagi, dan direnungkan kembali. Daripada untuk mendirikan “rumah Tuhan” yang megah, uang atau harta, benda tersebut akan lebih bermanfaat dan berdaya guna jika dipakai untuk membangun sarana-prasarana yang bisa membantu mewujudkan atau meningkatkan kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, tempat tinggal; kesehatan; pendidikan; air bersih; dlsb. Lagi pula, apakah benar pembangunan tempat-tempat ibadah yang mentereng itu “dihadiahkan” kepada Tuhan? Dengan kata lain, betulkah tempat-tempat ibadah megah itu sebagai “rumah” Tuhan? Jangan-jangan pembangunan tempat-tempat ibadah yang megah itu bukan untuk “rumah” atau “kediaman” Tuhan, melainkan untuk rumah/kediaman para “wakil”-Nya atau “penyambung lidah”-Nya? Mereka hanya memakai Tuhan untuk dalih, stempel, dan atas nama saja. Tuhan yang “Maha Kaya” tentu saja tak perlu dibuatkan rumah megah oleh hamba-hamba-Nya yang jelata yang setiap saat berdoa dan meminta belas kasihan kepada-Nya. Selamat berefleksi. Penulis Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, Ia memperoleh gelar doktor PhD dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia London Routledge, 2016 dan Saudi Arabia and Indonesian Networks Migration, Education and Islam London & New York Tauris & Bloomsbury. *Setiap tulisan yang dimuat dalam DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. *Tulis komentar Anda di kolom di bawah ini.
Ciamis - Bupati Ciamis Herdiat Sunarya meresmikan Kampung Lebak, Kelurahan Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, sebagai Kampung Kerukunan, Kamis 21/4/2022.Di kampung ini terdapat empat rumah ibadah yang saling berdampingan. Keempatnya yaitu Masjid Jami Al Muhajidin, Gereja Katolik Santo Yohanes, Kelenteng Hok Tek Bio, dan Litang Khonghucu. Warga di Kampung Lebak ini tetap menjaga kerukunan umat beragama selama puluhan tahun. Kegiatan launching Kampung Kerukunan digelar di halaman Gereja Katolik Santo Yohanes. Ditampilkan berbagai kesenian, seperti barongsai, qasidah dan berbagai jenis tarian dari seluruh Ciamis Herdiat Sunarya mengatakan launching Kampung Kerukunan ini sebagai upaya menjaga dan memelihara warisan leluhur. Sejak dulu, orang tua sudah menanamkan sikap kerukunan antar umat beragama yang terjaga sampai sekarang. "Sebetulnya ini adalah warisan leluhur kita. Saya sebagai orang Ciamis ingat persis, sejak 60 tahun lalu sudah seperti ini," ujar Herdiat Kampung Kerukunan di Ciamis. Foto Dadang Hermansyah/detikJabarSetelah diresmikan, Kampung Kerukunan ini diharapkan bisa mengangkat dan jadi contoh untuk daerah lainnya. Persatuan harus tetap dipelihara dan dijaga."Ini sebagai bukti bahwa kita bersama bersatu. Buktikan kepada semua di Ciamis tidak ada arogan dan anarkis. Kalau ada yang bilang Ciamis arogan dan anarkis itu salah. Orang Ciamis cinta damai," tegas depan, Herdiat berharap Kampung Kerukunan ini bisa lebih baik lagi dan masyarakat bisa lebih sejahtera. Mereka juga diharapkan terus menjaga dan memelihara budaya itu, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB Ciamis Koko Komarudin mengatakan Ciamis kini memiliki dua kampung kerukunan. Pertama di Kampung Susuru, Desa Kertajaya, Panawangan. Kedua adalah Kampung Lebak, Kelurahan Ciamis."Kekayaan dan keragaman kampung ini merupakan contoh kehidupan menghargai menguatkan satu sama lain yang patut diteladani masyarakat dunia," kerukunan dan suasana damai di Kampung Lebak sudah menjadi tradisi dan karakter asli warga Ciamis. Kerukunan umat beragama telah menjadi isu global dalam mewujudkan perdamaian dunia."Ke depan berbagai kegiatan kebersamaan akan dilaksanakan untuk kemaslahatan. FKUB berharap ini mampu jadi inspirasi dunia dan menjadi edukasi kemasyarakatan majemuk dan wisata religi," pungkasnya. Simak Video "Lantunan Al Fatihah dari Wanita ODGJ di Majalengka" [GambasVideo 20detik] ors/bbn
Masjid Istiqlal. Sumber Jakarta Letaknya yang berdekatan, Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral merupakan simbol toleransi yang indah. Tak hanya Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral saja yang berdampingan, ada beberapa masjid dan gereja di kota-kota lain di Indonesia yang letaknya juga berdampingan. Toleransi, Mahalini Ikut Puasa Sehari Penuh untuk Temani Rizky Febian FOTO Desa di Ukraina Menjalani Paskah Tanpa Gereja Usai Salat Ied di Masjid Istiqlal, Wapres Ma'ruf Amin Mudik ke Banten Untuk Berlebaran Bahkan kini Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral semakin dekat karena sudah diresmikannya terowongan silaturahmi Istiqlal dan Katedral. Selain desain interior dan eksteriro, fakta menarik lainnya dari terowongan tersebut yakni bisa mempermudah akses parkir jamaah dua rumah ibadah. Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari beragam ras, suku, budaya, adat, dan agama. Lokasi tempat ibadah yang berdampingan menjadi salah satu keindahan bagi antar umat beragama untuk saling tingkatkan rasa toleransi. Malang, Solo, Surabaya merupakan beberapa kota di Indonesia yang terdapat masjid dan gereja yang berdampingan. Beragam kisah menarik soal masjid dan gereja berdampingan ini Berikut merangkum dari berbagai sumber tentang masjid dan gereja yang berdampingan selain Masjid Istiqlal – Gereja Katedral, Selasa 26/4/2022.Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta rampung dibangun. Yuk kita lihat isi dan arti dibalik ornamen yang ada di Masjid Al Hikmah dan GKJ Joyodiningratan Solo, Jawa TengahMasjid dan Gereja Berdampingan. Sumber dan gereja pertama yang berdekatan adalah Masjid Al Hikmah dan GKJ Joyodiningratan di Solo, Jawa Tengah. Masjid Al-Hikmah dan Gereja Kristen Jawa GKJ Joyodiningratan yang terletak bersebelahan di Jalan Gatot Subroto Kratonan Serengan, Solo, Provinsi Jawa Tengah bersama-sama menjaga tolerasi dalam kebersamaan melaksanakan pelaksanaan ibadah. Masjid dan gereja tersebut selalu bekerjasama dalam setiap pelaksanaan ibadah terutama yang menyangkut banyak jamaah. Bahkan antar jamaah saling menghormanti dan menghargai satu sama Masjid Agung Jami dan GPIB Immanuel Malang, Jawa TimurMasjid dan gereja bersanding di Malang / Zainul ArifinMasjid Agung Jami dan GPIB Malang merupakan masjid dan gereja selanjutnya yang tunjukkan indahnya toleransi. Toleransi antarumat beragama di Kota Malang ini tergambar jelas dengan keberadaan Masjid Agung Jami dan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat GPIB di sebelah barat Alun-alun Merdeka Kota Malang. Kedua tempat ibadah yang hanya dipisahkan oleh sebuah gedung umum. Saat perayaan hari besar, pengurus dua tempat ibadah saling mengabarkan dan meminta izin agat terciptanya suasana yang nyaman dan bikin hati adem. Bahkan ketika perayaan Idul Fitri, jamaah Masjid Agung Jami yang tak kebagian tempat di dalam masjid, memilih shalat di pelataran gereja. 3. 6 Rumah Ibadah Saling Berdampingan di Surabaya, Jawa TimurRumah ibadah berdampingan di Surabaya. Sumber enam rumah ibadah saling berdampingan di Surabaya tunjukkan indahnya toleransi. Dalam satu lokasi ada Masjid Muhajirin, Gereja Katolik Kapel Santo Yustinus dan Kristen Protestan GKI Royal Residence, Kelenteng Ba De Miao, Vihara Budhayana Royal Residence, dan Pura Sakti Raden Wijaya. Enam rumah ibadah yang saling berdekatan ini terletak di Perumahan Royal Residence, Wiyung, Surabaya. Uniknya meski berbeda, keenam rumah ibadah yang berdiri dalam satu lokasi berdampingan itu tidak menggunakan pagar atau pembatas lainnya. Sehingga, lokasi rumah ibadah itu terlihat menyatu dengan Masjid Bakhti dan GKPI, Pematang Siantar, Sumatera UtaraMasjid Bakhti dan GKPI, Sumatera Utara merupakan masjid dan gereja selanjutnya yang berdampingan. Masjid Bakhti dan GKPI tersebut terletak Keluaran Pondok Sayur, Kecamatan Siantar Martoba. Rumah ibadahnya berdampingan, warganya yang pun rukun dan saling menghargai satu sama lainnya. Sama seperti masjid dan gereja lainnya yang berdampingan, Masjid Bakhti dan GKPI juga saling memahami ketika hari besar agama Masjid Al Muqarrabien dan Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim, Tanjung PriokGereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabien. Sumber Al Muqarrabien dan Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim yang berlokasi di jalan Enggano, Jakarta Utara adalah masjid dan gereja selanjutnya yang sudah berdampingan selama 55 tahun. Menurut Ketua Pengurus Masjid, Haji Tawakal, dua bangunan yang didirikan ini hanya selisih satu tahun tersebut di bangun oleh pelaut-pelaut yang singgah di Tanjung Priok. Masjid dibangun pelaut muslim pada tahun 1958, sementara gereja dibuat oleh eorang pelaut beragama Kristen yang dibangun tahun 1957. 55 tahun berdekatan, jamaah dua tempat ibadah ini selalu harmonis dan saling menjaga. Salah satu bentuk tolerasi dua tempat ibadah ini, menurut pengurus masjid yakni pengeras suara di Al Muqarrabien sengaja dipasang menghadap ke arah barat. Sedangkan bangunan gereja berada di sebelah timur.* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.